Liputan6.com, Jakarta Para pemain Tottenham berdiri terpaku di depan pendukungnya dengan emosi campur aduk usai kalah dramatis dari PSG di final UEFA Super Cup. Hingga menit ke-85, Spurs unggul 2-0 lewat gol Micky van de Ven dan Cristian Romero, seolah sudah menggenggam trofi.
Gol-gol tersebut tercipta dari situasi bola mati, memberi awal yang sempurna untuk mengawali musim baru Premier League melawan Burnley akhir pekan ini. Namun, kebangkitan PSG mengubah segalanya.
Lee Kang-in memperkecil kedudukan melalui tembakan jarak jauh, lalu Goncalo Ramos menyamakan skor di masa tambahan waktu. Dalam adu penalti, kegagalan Van de Ven dan Mathys Tel membuat Spurs harus menyerah 4-3.
Berbeda dari era Ange Postecoglou yang sering dikritik terlalu ofensif, Spurs kali ini bermain lebih pragmatis setelah unggul 2-0 di menit ke-48. Tekanan tinggi yang sempat membuat PSG kewalahan dihentikan, dan tim mulai bertahan lebih dalam.
Kevin Danso mengulur waktu di setiap lemparan ke dalam, sementara Pedro Porro dan Romero memperlambat tempo dengan berhenti di area pertahanan. Upaya ini terlihat seperti manajemen laga cerdas, namun justru memberi ruang bagi PSG untuk bangkit.
Richarlison dan Mohammed Kudus jarang memberi opsi serangan balik, membuat Spurs kehilangan inisiatif. PSG memanfaatkan momentum tersebut dan membalikkan keadaan di menit akhir.Sejak menit awal, Spurs langsung mengandalkan permainan direct untuk memanfaatkan kelemahan PSG di situasi bola mati. Kiper Guglielmo Vicario mengirim bola panjang dari set-piece, memicu kekacauan di kotak penalti lawan.
Gol pembuka tercipta saat bola liar dari usaha Joao Palhinha yang membentur mistar disambar Van de Ven. Hampir saja Kudus menggandakan skor sebelum jeda, tetapi tembakannya membentur tiang.
Spurs kembali memanfaatkan kelemahan PSG setelah jeda. Sebuah umpan bebas disundul Romero untuk gol kedua. Dengan tambahan lemparan jauh dari Danso, strategi bola mati terlihat efektif, sayangnya tidak cukup untuk mengantarkan Spurs meraih trofi.